Tauhid merupakan suatu pegangan seorang muslim, dengan kata
lain ia adalah jalan penentu kehidupan. Jika diibaratkan seorang musafir yang
melakukan perjalanan, ia adalah kendaraan yang mengantarkannya ketempat tujuan.
Banyak yang alergi ketika mendengar kata “tauhid”.
Seakan-akan kalimat ini hanya milik paten segolongan orang yang merasa paling
benar. Karena boleh jadi alasannya, kalimat itulah yang selalu digaungkan oleh
orang-orang salafi wahabi, katanya. Sebenarnya mereka hanyalah
segelintir orang yang tidak tahu-menahu, atau bisa dibilang sok tahu dan
terburu-buru dalam mengambil kesimpulan. Tauhid atau dalam bahasa yang
sederhana -peng-esa-an kita kepada sang pencipta- adalah barometer penentu
selamat atau tidaknya kita ketika berada dipengadilan hari kiamat.
Tidak bisa dielakkan, bahwa tauhid adalah kunci amalan shaleh
yang kita kerjakan didunia ini. Hal ini telah Allah jelaskan dalam firman-Nya
dan melalui lisan Rosul-Nya.
Setelah Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, maka orang
yang paling tahu dan jujur dalam bermuamalah dengan firman tuhannya adalah
mereka orang-orang pilihan, yang Allah beri keutamaan untuk menemani perjuangan
kekasih-Nya yang tercinta. Mereka adalah sahabat Rasulullah Ridhwanullahi ‘alayhim.
Keutamaan mereka tidak pantas untuk dipertanyakan. Banyak
atsar/kisah-kisah yang telah sampai ke telinga kita tentang perjuangan mereka
mempertahankan keimanan pada masa dimana orang meyakini selainnya. Tidak
ketinggalan ayat-ayat yang turun dari langit menjelaskan keutamaan mereka.
Mereka sebagaimana wasiat Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wa sallam , hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Abu Musa Al-‘Asy’ary
:
النجوم أمنة للسماء , فإذا ذهب النجوم أتى
أهل السماء ما يوعدون , وأنا أمنة لأصحابي , فإذا ذهبت أنا أتى أصحابي ما يوعدون ,
وأصحابي أمنة لأمتي , فإذا ذهب أصحابي أتى أمتي ما يوعدون
“Sesungguhnya bintang-bintang itu adalah pengaman bagi
langit. Jika bintang-bintang itu lenyap, maka akan datang apa yang telah
dijanjikan atas langit. Aku adalah pengaman bagi sahabatku, jika aku telah
pergi maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas sahabatku. Dan sahabatku
adalah pengaman bagi umatku, jika sahabatku telah pergi maka akan datang apa
yang telah dijanjikan atas umatku.”
Diantara sifat mereka
yang perlu untuk kita teladani, adalah bagaimana mereka mengesakan Allah dalam
hal iman, ibadah, serta dalam berbagai sendi kehidupan mereka. Kaum muslimin
jaman sekarang menganggap telah bertauhid dengan benar, ketika ia telah
beribadah sesuai tuntunan rosulullah dan menjauhi berbagai macam bentuk syirik
dengan segala macam aplikasinya.
Namun ketika kita menengok kembali lembaran shiroh sahabat Ridhwanullahi
‘alayhim. Mereka tidak sekedar melaksanakan perintah dan menjauhi segala
larangan yang diisyaratkan. Tauhid mereka betul-betul tertanam kuat dalam dada
sanubari.
Para sahabat Ridhwanullahi ‘alayhim memang bukanlah
sekelompok malaikat yang ma’sum/terjaga dari perbuatan dosa. Sebagian mereka
juga terjatuh dalam lembah kemaksiatan, bagaimanapun kedalaman ilmu dan arahan
yang selalu mereka terima dari manusia paling mulia, namun mereka juga manusia.
Akan tetapi, mereka adalah sesosok gambaran yang tidak ada
duanya, jika dibandingkan dengan seorang muslim zaman sekarang. Sebuah kisah
yang mungkin telah banyak kali terulang di telinga. Seorang wanita (sahabiyah)
pernah mengadukan diri kepada baginda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam bahwa ia telah berzina, dan bersiap untuk menerima hukuman rajam
sebagai konsekuensi dari perbuatannya. Namun Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam menangguhkan
hukumannya sampai ia melahirkan anak yang dikandung. Setelah itu, wanita tersebut
mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam membawa bayi dalam
dekapannya, namun Rasul shallallahu ‘alayhi wa sallam menyuruhnya untuk
menyapih bayinya sampai bisa makan sendiri. Maka saat itupun tiba juga, dengan
membawa seorang bocah yang sedang makan sesuatu dari tangannya. Hukuman rajam
akhirnya dilaksanakan. Kalau dipikir, bisa saja wanita itu menutupi aibnya plus
tanpa menerima hukuman. Dan ketika masa penangguhan yang lama itu, bisa saja ia
pindah ketempat yang jauh sehingga terbebas dari hukuman, toh ia bukan dari
pihak yang dituntut.
Sekali lagi mereka adalah manusia biasa yang bisa saja
terjerumus dalam kesalahan, bahkan dalam dosa besar sekalipun. Namun, rasa sesal dalam dada mereka sangat
mendalam menusuk sukma. Rasa sesal yang membatin tidak akan lepas dari dadanya
dengan sekedar memohon ampun. Mereka selalu khawatir ketika ibadah dan
taubatnya tidak diterima oleh Allah.
Diantara aplikasi tauhid yang telah diabaikan oleh banyak
orang adalah mengesakan Allah dengan mengenal-Nya melalui asma/nama-nama yang
disebutkan dalam firman-Nya. Tidak hanya mengenal kemudian menghafal sampai
mengetahui arti dari nama-nama tersebut. Juga perlu memahami makna yang
terkandung pada setiap nama yang memerlukan pengaplikasian.
Misalnya, diantara nama Allah adalah al-Bashir (Maha
Melihat). Setelah mengetahui artinya, kita harus merenung sejenak memikirkan,
ketika Allah maha melihat segala yang jelas maupun yang tersembunyi, masihkah
kita mau melakukan hal yang Ia murkai ? atau ketika kita terpaksa terjerumus
dalam lembah maksiat, apakah masih ada rasa malu ketika dipandang oleh Allah
sebagai pelaku maksiat yang berlumur dosa yang masih saja menerima rezki
dari-Nya ? masih adakah rasa sesal yang membebani batin ketika membayangkan
hari dimana kita dimintai pertanggungjawaban ?
Kutunggu jawabanmu .!!!
Islamic university of medina nabawiyyah
Kamis, 7 shafar 1434 H/ 20 desember 2012 M