مرحبا بالإخوة في هذا الموقع المتواضع

مرهبا بالإخوة

Mari berbagi 'Ilmu, saling tanasuh dalam kebaikan, memotivasi untuk beramal dan berda'wah

Laman

Implementasi pelbagai aspek iman dalam menghadapi ikhtibar (ujian sekolah)



Alhamdulillah, selesai juga ujiannya, plong rasanya bisa jawab” kataku sesaat keluar kelas ujian ushul fiqh. Kuteringat pesan seorang ustadz kepada kami semasa dima’had (baca : pondok) mengutip sebuah ayat, :"فإذا فرغت فانصب" , ketika selesai dalam amalan shaleh yang satu, maka jangan biarkan waktumu kosong tanpa arti, tapi bersegeralah untuk meraih pahala amalan shaleh lainnya. Dari nasehat itulah kubersemangat lagi untuk mencoretkan beberapa baris ini, semoga bermanfaat.

Banyak pelajaran yang bernilai iman(durus imaniyah) yang bisa ana petik dari pengalaman menghadapi ujian dunia(US). Ana akan mencoba membaginya dalam beberapa marhalah/tingkatan, yaitu saat menjelang, menghadapi, dan selesai dari ujian tersebut.

Pertama, ketika menjelang ujian. Hal ini mengingatkanku bagaimana kita mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian yang hakiki di akhirat. Adakah kita mempersiapkan segala apa yang akan dibawa untuk menghadapi ujian Allah di akhirat kelak. Seorang thalib (mahasiswa) yang sehari harinya mempersiapkan pelajaran sebelum masuk kelas, kemudian setelah itu ia me-muroja’ah(mengulangi) serta menghafalkan pelajaran  yang didapatkannya. Apakah sama dengan seorang thalib yang cuek dengan pelajarannya. Jangankan me-muroja’ah pelajarannya, hadir dikelas pun kadang masih ghoib (tidak hadir). Begitu juga gambaran perjalanan hamba Allah dalam kehidupan fana ini. Apa yang membedakan mereka berdua?. Himmah (semangat) yang ada untuk tumuh (masa depan), adanya cita-cita untuk mencapai sebuah janji yang pasti.

Disinilah iman kita berperan penting, menentukan apa yang hendak kita akan raih. Ketika kita beriman kepada Allah yang Maha mengatur segalanya, kita akan yakin dengan janji pasti-Nya dan segera bertawakkal penuh kepada-Nya, tentu setelah berusaha keras. Iman itu muncul sebagai pembenaran atau keimanan kita terhadap apa yang disampaikan Allah dalam kitab-Nya dan melalu lisan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa aalihi wasallam yang tiada ucapannya kecuali wahyu.

Kedua, ketika menghadapi ujian. Ketika seorang thalib takut menghadapi ujian yang tidak sesuai kemampuannya, atau ia mampu namun kurang dalam mudzakaroh (belajar). Hal ini mengingatkan bahwa ujian yang sedang anda hadapi tidak berarti apa-apa dibanding ujian yang diberikan Allah. Hanyalah orang bertaqwa dan masih memiliki iman dalam sanubarinya yang memiliki rasa takut itu, dan tergantung apa yang ia siapkan untuk menghadapinya.

Dan ketika menghadapi ujian ini, seorang thalib dituntut jujur. Begitupula seorang hamba dituntut untuk jujur kepada diri sendiri dalam menghadap Tuhannya. Dan selalu merasakan (muroqabatullah) penjagaan Allah disetiap tingkah lakunya, karena Allah Maha Tahu, plus malaikat yang siap sedia dalam mencatat amalannya.
Ketiga, saat selesai ujian. Dibenak ini hanya terbayang ayat serta hadits membenarkan hari pembalasan yang pasti. Usaha apa yang telah kita kerahkan?. Apakah nantinya pantas untuk mendapatkan predikat yang diidamkan atau malah sebaliknya. Terbayang buku amalan yang akan kita terima. Akankah kuterima dengan tangan kanan ini, ataukah tangan kiri ini yang akan menerimanya dari belakang tanda kehinaan. Ya Allah Engkaulah Maha pemberi hidayah, tunjukkanlah aku jalanmu, dan jika aku telah berada diatasnya, maka tetapkanlah hatiku hingga dihari kumelihat wajah-Mu.

Akhirnya, disunnahkan ketika menyelesaikan sebuah ibadah atau amalan untuk beristigfar untuk menambal kekurangan dan kekhilafan. Dan hanya kepada-Nya kita semua bertawakkal dan kepada-Nya tempat kembali.


Coretan tafakkur
Sabtu, 10 Safar 1434 H/ 22 desember 2012 M
Jami’ah Islamiyah bil-Madinah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar