“Alhamdulillah, selesai juga ujiannya, plong rasanya
bisa jawab” kataku sesaat keluar kelas ujian ushul fiqh. Kuteringat pesan
seorang ustadz kepada kami semasa dima’had (baca : pondok) mengutip
sebuah ayat, :"فإذا فرغت فانصب"
, ketika selesai dalam amalan shaleh yang satu, maka jangan biarkan waktumu
kosong tanpa arti, tapi bersegeralah untuk meraih pahala amalan shaleh lainnya.
Dari nasehat itulah kubersemangat lagi untuk mencoretkan beberapa baris ini, semoga
bermanfaat.
Banyak pelajaran yang bernilai iman(durus imaniyah)
yang bisa ana petik dari pengalaman menghadapi ujian dunia(US). Ana akan
mencoba membaginya dalam beberapa marhalah/tingkatan, yaitu saat
menjelang, menghadapi, dan selesai dari ujian tersebut.
Pertama, ketika menjelang ujian. Hal ini mengingatkanku
bagaimana kita mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian yang hakiki di
akhirat. Adakah kita mempersiapkan segala apa yang akan dibawa untuk menghadapi
ujian Allah di akhirat kelak. Seorang thalib (mahasiswa) yang sehari
harinya mempersiapkan pelajaran sebelum masuk kelas, kemudian setelah itu ia me-muroja’ah(mengulangi)
serta menghafalkan pelajaran yang
didapatkannya. Apakah sama dengan seorang thalib yang cuek dengan
pelajarannya. Jangankan me-muroja’ah pelajarannya, hadir dikelas pun
kadang masih ghoib (tidak hadir). Begitu juga gambaran perjalanan hamba
Allah dalam kehidupan fana ini. Apa yang membedakan mereka berdua?. Himmah
(semangat) yang ada untuk tumuh (masa depan), adanya cita-cita untuk
mencapai sebuah janji yang pasti.
Disinilah iman kita berperan penting, menentukan apa yang
hendak kita akan raih. Ketika kita beriman kepada Allah yang Maha mengatur
segalanya, kita akan yakin dengan janji pasti-Nya dan segera bertawakkal penuh
kepada-Nya, tentu setelah berusaha keras. Iman itu muncul sebagai pembenaran
atau keimanan kita terhadap apa yang disampaikan Allah dalam kitab-Nya dan
melalu lisan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa aalihi wasallam yang tiada
ucapannya kecuali wahyu.
Kedua, ketika menghadapi ujian. Ketika seorang thalib
takut menghadapi ujian yang tidak sesuai kemampuannya, atau ia mampu namun
kurang dalam mudzakaroh (belajar). Hal ini mengingatkan bahwa ujian yang
sedang anda hadapi tidak berarti apa-apa dibanding ujian yang diberikan Allah.
Hanyalah orang bertaqwa dan masih memiliki iman dalam sanubarinya yang memiliki
rasa takut itu, dan tergantung apa yang ia siapkan untuk menghadapinya.
Dan ketika menghadapi ujian ini, seorang thalib dituntut
jujur. Begitupula seorang hamba dituntut untuk jujur kepada diri sendiri dalam
menghadap Tuhannya. Dan selalu merasakan (muroqabatullah) penjagaan
Allah disetiap tingkah lakunya, karena Allah Maha Tahu, plus malaikat yang siap
sedia dalam mencatat amalannya.
Ketiga, saat selesai ujian. Dibenak ini hanya terbayang ayat
serta hadits membenarkan hari pembalasan yang pasti. Usaha apa yang telah kita
kerahkan?. Apakah nantinya pantas untuk mendapatkan predikat yang diidamkan
atau malah sebaliknya. Terbayang buku amalan yang akan kita terima. Akankah
kuterima dengan tangan kanan ini, ataukah tangan kiri ini yang akan menerimanya
dari belakang tanda kehinaan. Ya Allah Engkaulah Maha pemberi hidayah,
tunjukkanlah aku jalanmu, dan jika aku telah berada diatasnya, maka tetapkanlah
hatiku hingga dihari kumelihat wajah-Mu.
Akhirnya, disunnahkan ketika menyelesaikan sebuah ibadah atau
amalan untuk beristigfar untuk menambal kekurangan dan kekhilafan. Dan hanya
kepada-Nya kita semua bertawakkal dan kepada-Nya tempat kembali.
Coretan tafakkur
Sabtu, 10 Safar 1434 H/ 22 desember 2012 M
Jami’ah Islamiyah bil-Madinah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar